Selasa, 04 November 2014

ARAHAN KEBIJAKAN MEMBANGUN STRUKTUR INDUSTRI KONSTRUKSI YANG KOKOH, ANDAL DAN BERDAYASAING MELALUI RESTRUKTURISASI SISTEM



ARAHAN KEBIJAKAN

MEMBANGUN STRUKTUR INDUSTRI KONSTRUKSI YANG KOKOH, ANDAL DAN BERDAYASAING MELALUI RESTRUKTURISASI SISTEM

A. PERMASALAHAN STRUKTURAL INDUSTRI KONSTRUKSI


(1)    Good governance di industri konstruksi nasional masih belum terjadi. Indikasi menunjukkan sebagian dari pasar konstruksi terdistorsi oleh persaingan semu, terjadinya “brokerage” atau “rent seeking”, serta diduga bermunculan kontraktor semu (shadow players) akibat transaksi politik, sedangkan di sebagian pasar konstruksi lainnya terjadi persaingan mencekik leher (cut throat competition) dan penawaran tidak logis. Distorsi pasar konstruksi telah menyebabkan biaya transaksi ekonomi tinggi dan merendahkan dayasaing,

(2)    Industri konstruksi nasional mengalami ketimpangan antara struktur usaha dan struktur pasar. Jumlah kontraktor mencapai 182.800 dengan proporsi 13% kontraktor non kecil yang diduga menguasai 80 % pangsa pasar dan 87% kontraktor kecil yang diduga hanya menguasai 20% pangsa pasar. Kondisi ini menyebabkan persaingan yang tidak sehat. Permasalahan lain yang terungkap adalah terjadi donimasi kontraktor besar (BUMN) di daerah dan para kontraktor kecil masih memiliki kelemahan terhadap akses permodalan, SDM dan teknologi.

(3)    Konsentrasi usaha di sektor konstruksi masih didominasi oleh generalis  bercirikan kontraktor dengan banyak bidang usaha, sangat sedikit spesialis. Banyak muncul kontraktor yang kurang atau tidak profesional atau bahkan "semu".Disamping itu, model usaha subleting, subcontracting masih belum memberdayakan kontraktor kecil,bahkan dirasakan terjadi eksploitasi subkontraktor oleh kontraktor utama baik dalam arti akses, perikatan, porsi subkontrak, dan jaminan pembayaran dan bahkan terjadi subkontraktor memberi pinjaman tanpa bunga kepada kontraktor utama (loan without interest), dan bahkan terjadi integrasi vertikal oleh kontraktor besar. Persaingan usaha berbasis rantai pasok juga belum terjadi. 

(4)    Industri konstruksi nasional mengalami fragmentasi rantai pasok, diduga karena ketidak-paduan regulasi dan kebijakan inter industri konstruksi dan antar industri material / bahan konstruksi, industri peralatan konstruksi serta kebijakan di bidang SDM Konstruksi. Partnership dan supply chain dengan prinsip kooperasi, kolaborasi dan kompetisi rantai pasok konstruksi belum terjadi.

(5)    Kebijakan nasional bahwa semua yang bekerja di industri konstruksi harus bersertifikat dan menjadi persyaratan dalam proses pelelangan telah menjadi hambatan masuk (entry barriers) yang berlebihan (overly regulated), menambah biaya transaksi ekonomi yang memberatkan bagi pelaku usaha di industri konstruksi, khususnya kontraktor kecil dan menengah.

(6)    Ketentuan atas jenis, bentuk dan bidang usaha di sektor konstruksi belum sepenuhnya mengikuti Klasifikasi Baku Lapangan Usaha Indonesia (KBLI),  belum responsif terhadap pekerjaan dalam tahapan penyelenggaraan aset terbangun (life cycle of built asset development).

B.  RESTRUKTURISASI SISTEM SEBAGAI PILIHAN STRATEGI

(7)    Industri konstruksi yang kokoh, andal dan berdayasaing dikonsepsikan sebagai industri konstruksi yang mampu untuk :
i.    memberikan nilai tambah berkelanjutan;
ii.    beradaptasi terhadap perubahan eksternal baik nasional maupun global;
iii.    menjadi pelaku utama atau tuan rumah di negeri sendiri, dan
iv.    menciptakan peluang berperan di aras global

(8)    Sebagai prasyarat dasar dalam membangun industri konstruksi yang kokoh, andal dan berdayasaing, perlu membangun nilai, etika dan kapasitas profesional penyelenggara konstruksi (klien, owner, pemilik, pengelola proyek), pelaku usaha (konsultan, kontraktor, pemasok material, vendor peralatan, dan pemasok lainnya) dan regulator industri konstruksi.

(9)    Restrukturisasi sistem dilakukan melalui melalui 4 strategic thrusts berikut:
i.    Menata ulang struktur pasar (jenis, lingkup dan besaran) dan struktur usaha (firm size, concentration, product differention),

ii.    Memperbesar pangsa pasar konstruksi nasional dan global dengan terbukanya lapangan usaha baru di dalam negeri maupun luar negeri melalui dukungan Pemerintah,

iii.    Memperkenalkan sistem manajemen rantai pasok terintegrasi berbasis koopetisi (kooperasi dan kompetisi) untuk menjamin peningkatan nilai tambah dari penyelenggaraan konstruksi.  Model persaingan di industri konstruksi didorong berbasis kekuatan rantai pasok.

iv.    Mengembangkan kebijakan keberpihakan (affirmative policy) terhadap kontraktor kecil daerah,agar berkembang menjadi kontraktor spesialis yang memiliki kapasitas permodalan, kompetensi SDM dan kapabilitas teknologi,

v.    Menata ulang kerangka hukum dan tata kelembagaan serta instrumen kebijakan untuk sertifikasi badan usaha, sertifikasi profesi dan keterampilan, akses pasar (entry barrier) serta sistem transaksi dan perikatan.

C. REKOMENDASI KEBIJAKAN

(10)    Memperkuat pengawasan implementasi kebijakan dalam penyelenggaraan konstruksi berbasis monitoring dan evaluasi berkesinambungan. Kebijakan ini ditindak-lanjuti dengan mengembangkan dan menerapkan code of conduct dan code of ethic baik di sisi penyelenggara (owner, client, project manager), di sisi pelaku usaha (konsultan, kontraktor, pemasok dan vendor) maupun di sisi regulator, pada berbagai tataran (proyek, perusahaan,  industri, pemerintahan).

(11)    Mengubah struktur usaha berbasis ASMET menjadi KBLI,  mendefinisikan ulang generalis dan spesialis, dan menata ulang sistem kualifikasi usaha, menjadi berbasis kapital, kompetensi SDM (kapabilitas manajemen dan teknologi) serta pengalaman (track record),

(12)    Mengembangkan penerapan variasi sistem penyelenggaraan proyek (project delivery systems) (DB, EPC, dan PBC sebagai alternatif dari DBB konvensional),  dan merancang ulang segmentasi pasar, memperluas porsi dan lingkup subcontracting (untuk usaha kecil),  serta menetapkan standard form of subcontract dan membuat pengaturan jaminan pembayaran (payment security acts),

(13)    Memberi insentif dan disinsentif untuk mendukung pengelolaan rantai pasok oleh kontraktor besar dan menengah serta melarang vertical integration oleh kontraktor besar khususnya dimulai dari kontraktor BUMN.

(14)    Mengharuskan kontraktor besar nasional dan asing melakukan pemberdayaan kepada kontraktor daerah, baik melalui joint operasi maupun subkontrak atau dengan mengintegrasikan mereka dalam rantai pasoknya sebagai tindakan memihak (affirmative action),

(15)    Mengembangkan sistem inkubator usaha konstruksi untuk meningkatkan kapasitas kontraktor kecil/menengah, khususnya di daerah yang tertinggal, dengan memperluas akses dukungan permodalan dan penjaminan, pengembangan kompetensi SDM dan kapabilitas manajemen dan penguasaan teknologi,

(16)    Mengevaluasi kembali seluruh peraturan perundangan khususnya pengaturan bisnis (konstruksi), pengaturan praktek profesi keinsinyuran dan kearsitekturan, serta pengaturan pengembangan industri konstruksi, termasuk sistem pembiayaan melalui levy, 

(17)    Menata ulang kebijakan pengaturan untuk mencegah terjadinya pengaturan yang berlebihan (overly regulated),  perangkap regulasi (regulation trap) yang mempersulit atau menghambat efisiensi penyelenggaraan konstruksi dan pengembangan industri konstruksi nasional),  serta konflik kepentingan antar para pemangku kepentingan industri konstruksi (penyelenggara seperti investor, owner dan developer, pelaku usaha, regulator industri, masyarakat pemanfaat dsb.)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar